Di era Teknologi Informasi seperti ini, banyak sekali ilmu dan petunjuk yang bisa dirujuk. Ilmu parenting berlimpah-limpah. Praktisi parenting sangat banyak. Kita mengalami situasi yang disebut BANJIR INFORMASI.
Ternyata, berlimpahnya informasi ini memiliki resiko. Paling minim berupa benturan pemikiran. Ahli A berkata X, Ahli B berkata Y. Memang naturalnya ilmu duniawi, selalu ada pro dan kontra.
Di tengah kebimbangan akibat ‘banjir informasi’ ini, kita sebagai manusia dewasa selalu punya pilihan :
- Membeo apa kata ahli tanpa berpikir kritis.
- Mengulang sejarah pengasuhan yang kita terima dari orangtua kita sepenuhnya, atau
- Mengubah pikiran dari apa yang dipelajari baik dari teori, pengalaman pribadi, maupun dari pengalaman orang lain, kemudian disesuaikan dengan juknis (petunjuk teknis) yang benar.
Petunjuk yang benar akan selalu merujuk dan sesuai dengan kebenaran yang paling hakiki. Milik siapakah kebenaran paling hakiki? Ya, hanya milik Allah dan selalu sesuai dan berasal dari Dzat yang paling mengetahui diri kita melebihi diri kita sendiri.
Seperti halnya gadget, yang paling tahu gadget A adalah perusahaan yang menciptakan gadget A. Siapa yang menciptakan diri kita dan anak kita?
Kita dan anak kita adalah produk ciptaan Allah. Segala seluk beluk kehidupan kita, yang sudah dan akan terjadi, Allah-lah yang paling tahu dan memahami.
Jadi, juknis kehidupan yang paling benar tak terbantahkan mengenai kehidupan kita dan anak kita adalah yang tertulis ada di Kitab Suci dan yang diteladankan utusan-Nya.
Jadi, jika ada ahli yang mengatakan untuk memberikan pendidikan seks melalui nonton bareng gambar atau video porno atau mandi bareng anak, jelas melanggar perintah Allah untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, jangan pernah diikuti.
Jika ada pakar yang mengharamkan berkata “Jangan”, seimbang saja lah.. Al Quran menggunakannya pun dalam kadar yang seimbang. Ada perintah yang menggunakan kata –lah, Berjalanlah, bersujudlah, rukuklah, dirikanlah, dan –lah –lah lain tersebar di lebih dari 368 ayat.
Namun ada juga larangan tegas, Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, Janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil, dan jangan di 363 ayat lainnya. Bukankah keduanya seimbang?
Jika kita membaca kisah tentang Muhammad Al Fatih yang dididik dengan kekerasan, namun jadi pemimpin perang di usia muda yang menjadi jawaban atas hadist Rasulullah bahwa Islam kelak menaklukkan Romawi.
Dudukkan dulu pada konteksnya. Keras yang dimaksud seperti apa? Dalam situasi apa? Dengan tujuan apa? Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk berkata baik (qaulan ma’rufa), berkata yang mudah dipahami dan menyenangkan (qaulan maisyura), berkata lemah lembut (qaulan layyina), berkata mulia (qaulan karima), disamping juga perintah berkata benar (qaulan sadiidan) dan berkata dengan perkataan yang membekas pada jiwa (qaulan baligha).
Ilmu duniawi dan ilmu manusia sangat terbatas. Seujung kuku pun tak ada dibandingkan dengan ilmu Allah. Pelajari terus ilmu agama, dan dalami juga ilmu dunia. Temukan perkawinan antara keduanya, jangan dipertentangkan. Niscaya kita akan menemukan betapa Allah Maha Mengatur dan Mahacerdas.
Biasanya, kita jadi mempertentangkan keduanya, karena kita tidak juga mendalami keduanya. Ilmu agama dipahami sepotong-sepotong, ilmu dunia dimengerti separuh-separuh. Sehingga, keduanya hanya berupa pengetahuan, belum menjadi kebijaksanaan, yang berujung pada sulitnya penerapan.
Ilmu agama menajamkan kepekaan, ilmu dunia mengasah keterampilan, keduanya menjernihkan mata kita melihat petunjukNya atas segala bimbingan.
Semoga kita selalu mampu menangkap bimbinganNya ketika mengambil keputusan di segala liku hidup kita...😇
Sumber :
No comments:
Post a Comment