April 04, 2017

Tujuan Pengasuhan (3) Menjadi Ayah/Ibu yang Baik (Bagian 1)


Ayah Bunda, apa yang kita lakukan ketika akan menghadapi ujian saringan masuk universitas atau tes masuk kerja?

Yup, kita persiapkan dengan sangat baik. Kita mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai tes, membeli buku latihan soal, berlatih dengan giat, sampai kita mengalokasikan isi dompet kita, khusus untuk les agar skor kita baik.

Masuk universitas dan menjadi mahasiswa akan ada lulusnya, diterima bekerja dan menjadi karyawan juga akan ada resign-nya.

Bagaimana dengan menjadi orangtua? Apakah menjadi ayah dan ibu ada masa berhentinya? Oh ternyata tidak.

Lalu bagaimana persiapan kita menghadapi peran yang hanya dibatasi oleh umur ini.

Hasil survey yang dilakukan oleh Sa’ad Ibrahim dalam Tugas Akhir “Mengajak Calon Ibu untuk Mempersiapkan Kemampuan Mengasuh Anak Sejak Dini Melalui Kampanye Media Digital”, kepada ibu muda di kota Jakarta, menyatakan bahwa 7 dari 10 ibu muda baru mempelajari hal terkait pengasuhan anak setelah bayi lahir dan sisanya mempelajari sejak awal kehamilan.

Ternyata, para ibu mempersiapkan cara mengasuh anak berkejaran dengan tumbuh kembang anak kita. Mayoritas kita belajar melalui ilmu "turunan ortu" bagi yang beruntung, atau trial and error and error and error sampai menemukan gaya terbaik.

Para ayahnya kapan? Bahkan kami sering sekali mendengar curhatan pada Bunda tentang suaminya yang tidak bisa diajak, tidak terlibat, dan menyerahkan segala urusan pengasuhan pada Bunda.

Saat anak masih bayi, belum bisa protes, hidup masih berjalan baik-baik saja. Namun, ketika anak mulai memperlihatkan “keakuan”nya, sudah bisa protes, barulah satu persatu masalah muncul. Terasa sekali minimnya bekal ilmu untuk menghadapinya.

Andai waktu dapat berputar kembali, ingin sekali kita mengulang usia anak atas kurangnya kita saat mengasuhnya, sehingga ia tidak menjadi "korban" ke-error-an ayah dan ibunya.

Perasaan kita ini cukup menjadi cermin, cukuplah kita yang babak belur mengasuh anak. Mari kita tekadkan anak kita siap menjadi ayah dan ibu jauh hari sebelum mereka menikah, apalagi tantangan zaman sudah jauh berbeda.

Hari ini, kita menyaksikan betapa arus informasi liar berlompatan tak terkendali. Bahkan banyak sekali dari kita yang tidak bisa membedakan mana berita benar dan mana hoax.

Teknologi, selain memberi manfaat yang sangat banyak, punya sedikit resiko namun fatal jika diabaikan. Mendidik anak di Era Digital kini jauh menantang daripada di masa kita atau masa orangtua kita.

Coba kita tanya orangtua kita, pernahkah terpikirkan anaknya akan menghadapi masa seperti ini? Belum lagi tentang pornografi dan prostitusi. Kini menjadi tsunami dengan teknologi. Disinilah letak kurangnya mengikuti ilmu pengasuhan "turunan ortu".

Bukan berarti semua buruk dan harus ditinggalkan, seperti OS gadget kita, hanya perlu diupgrade. Tantangan zaman sudah menuntut kita menggunakan android marshmallow, masa masih mau pakai android gingerbread. Ali bin Abi Thalib saja mengatakan, "didiklah anakmu sesuai zamannya".

SEJAK KAPAN kita bisa mempersiapkan anak untuk menjadi orangtua yang baik nantinya?

Sejak anak kita mulai belajar dari mendengar, kemudian melihat, kemudian mencontoh, dan pada saatnya nanti ia akan berpikir. Kapankah itu? SEJAK DALAM KANDUNGAN.

Jadi, anak kita sudah bisa mulai belajar menjadi ayah dan ibu yang baik sejak kecil melalui keteladanan dan pembiasaan yang diberikan orangtuanya. Kata-kata baik yang terbiasa ia dengar sejak dalam kandungan tentu bermanfaat ketika ia menjadi orangtua.

Semakin beranjak dewasa, anak laki-laki kita mulai belajar menjadi penentu Garis Besar Haluan Keluarga (GBHK) dari ayahnya, dan anak perempuan kita bisa belajar menjadi manager keluarga dari ibunya.

Membangun keluarga bukan hanya tentang menyatukan dua pasang anak manusia, namun juga tentang meneruskan kemanusiaan, mendidik generasi dan menunaikan tanggungjawab dunia-akhirat.

No comments:

Post a Comment