Dari pembahasan sebelumnya, kita sudah memahami bahwa anak adalah amanah Allah.
Ia bukanlah milik kita. Bukan semata-mata hadiah yang dapat diperlakukan sesuka kita. Bukan. Kita sebagai pihak yang dititipi akan diminta pertanggungjawaban atas titipan tersebut.
Dengan cara apa? Apakah cukup dengan menjamin kebutuhan materinya, makanannya, dan menyekolahkannya dan mefasilitasinya dengan les tambahan?
Ia bukanlah milik kita. Bukan semata-mata hadiah yang dapat diperlakukan sesuka kita. Bukan. Kita sebagai pihak yang dititipi akan diminta pertanggungjawaban atas titipan tersebut.
Dengan cara apa? Apakah cukup dengan menjamin kebutuhan materinya, makanannya, dan menyekolahkannya dan mefasilitasinya dengan les tambahan?
Banyaknya kasus kenakalan dan kejahatan yang dilakukan anak dan remaja, seakan menceritakan kenyataan bahwa anak dan remaja kita sehat badannya, cerdas otaknya, namun hampa jiwanya. Adriano Rusfi, seorang praktisi pendidikan, menyebut mereka dengan sebutan “Aqilnya tidak berbarengan (lebih lambat) dengan Balighnya”.
Yaitu anak yang kokoh keimanannya, baik ibadahnya, dan mulia akhlaknya. Anak yang merasa dirinya berharga dan percaya diri. Anak yang cerdas : berfikir kritis dan solutif.
Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik dan tutur katanya menghargai orang lain, mandiri, bertanggung jawab pada Allah, diri sendiri, keluarga dan masyarakat, serta bijak berteknologi.
Jadi, dengan cara apa kita melaksanakan tanggungjawab sebagai orangtua?
Pertama, yang perlu kita sadari bahwa mengasuh adalah aktifitas menunaikan amanah sang Pencipta yang dilakukan orangtua dalam rangka mempersiapkan anaknya menjadi dewasa, yaitu mampu berpikir, memilih, dan mengambil keputusan dengan dilandasi ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak yang baik sebelum anak kita baligh (bagi anak laki-laki) dan hingga menikah (bagi anak perempuan).
Kesadaran kedua adalah bahwa anak kita membawa takdirnya sendiri. Kita hanyalah babysitter terpilih yang ditugasi memenuhi kebutuhannya. Peran kita sebatas FASILITATOR yang membantu anak kita menemukan jalan hidup yang Allah takdirkan kepadanya. Tak lebih dari itu.
Kita sama sekali tidak punya mandat memilihkan jalan hidup bagi anak kita. Sekali lagi, kita sama sekali tidak diberi mandat menentukan jalan hidup anak kita oleh Penciptanya.
Tidak dibenarkan jika kita menitipkan mimpi-mimpi kita yang tak tercapai kepada hidup anak kita. Masa depan laksana dinding putih yang anak itu sendiri yang mewarnainya.
Oleh karena itu, kenali anak kita. Bagaimana mungkin kita bisa mendampinginya jika kita tidak mengenali anak kita sendiri.
Kita juga perlu terus mengenali diri sendiri dan jalan hidup yang digariskan Allah pada kita, agar kita bisa menjadi fasilitator terbaik yang siap mengawal anak kita sepanjang ia berproses menemukan jalan hidupnya sendiri.
Akhirnya, kita menyadari tugas mengasuh adalah tanggungjawab yang sangat serius. Olehkarena itu, rasanya kita tidak lagi bisa menggunakan gaya populer : mempercayakan sepenuhnya pengasuhan anak kita ke tangan orang lain.
Jika oleh karena satu dan lain hal kita menitipkan anak kita pada pengasuh (babysitter, kakek nenek, Asisten Rumah Tangga), sebelum meninggalkannya di pagi hari, pastikan anak tercukupi kebutuhan jiwanya hingga orangtuanya kembali ke rumah.
Pastikan kita tetap menjadi guru pertama dan penjaga utama dari makhluk mungil yang kita bangga-banggakan itu.
Pastikan kita tidak kehilangan momen-momen berharga anak kita. Jika direnungkan kembali, sesungguhnya kita-lah yang merugi jika momen-momen berharga anak kita terlewat sedangkan ia terus tumbuh hari demi hari.
...they won't be kids forever, which makes today that much more important.
Menjadilah orangtua yang ada, ibu yang ada, ayah yang ada. Yang siap memberikan kebutuhan pada saat yang diperlukan, dalam jumlah yang cukup.
Sumber :
No comments:
Post a Comment