Setiap anak lahir dengan fitrah yang sudah tertanam dalam sebuah organ paling penting yang terlindung sempurna di tempurung kepala kita. Seluruh aktifitas tubuh kita diatur di dalamnya, baik yang bisa kita kontrol maupun yang tidak dapat kita kontrol.
Yup, otak kita adalah mesin utama tubuh kita.
Selain mengatur detak jantung, kerja paru-paru, gerakan lambung, usus, bola mata, tangan serta kaki, otak juga mengatur emosi, tempat berpikir, menimbang, menyimpan dan mengelola nilai dan moral, memperkirakan resiko dan konsekuensi, dan yang paling penting adalah membuat keputusan.
Ternyata, selain sudah diatur dalam paket DNA, perkembangan dan cara otak bekerja juga dipengaruhi oleh pengasuhan yang didapatkan seseorang sejak kecil.
Momen Pemilu Presiden tahun 2014 lalu adalah bukti nyata bahwa perbedaan pengasuhan (oleh orangtua di rumah, guru di sekolah, dan kultur lingkungan serta media) bisa membentuk pola pikir dan cara bersikap seseorang menjadi sangat berbeda dan unik.
Ada orang yang memaksakan pandangan bahwa pilihannya adalah yang terbaik, ada yang bisa menerima perbedaan pilihan, ada yang mengutarakan kehebatan pilihannya dengan menjelekkan pesaingnya, ada yang bisa menerima kelebihan pesaingnya dan menerima kekurangan pilihannya.
Kita juga bisa melihat realita bahwa ada orang yang memiliki prestasi dan kemampuan berkelas internasional.
Disamping itu juga ada orang yang menjadi pelaku kejahatan. Apa yang membedakan keduanya? Apakah memang sudah tertakdir bahwa ada orang yang diciptakan menjadi malaikat dan ada orang yang dilahirkan untuk menjadi penjahat? TIDAK.
Setiap anak diciptakan dan lahir dalam keadaan suci dan baik. Orangtua, pendidik, dan lingkunganlah yang membentuk ia menjadi seperti apa ketika dewasa
Semua pengalaman hidup yang seseorang alami, terekam di dalam otak, membentuk jalur berpikir dan bersikap hingga ia wafat.
Sekarang pertanyaannya adalah anak yang otaknya seperti apa yang akan kita kembalikan kepada Penciptanya?
Jika kita menerimannya dalam keadaan baik dan suci, logikanya, kita minimal mengembalikan seperti saat dititipkan pada kita, dan maksimal kita kembalikan dalam keadaan terbaik (BEST).
Jadi, apa yang kita harus lakukan? Yup, rawat anak kita sesuai dengan bagaimana ‘mesin utama’ anak kita bekerja. Brain-based parenting.
Bagaimana caranya?
Pertama, orangtua perlu mengetahui tentang tahapan perkembangan anak berdasarkan perkembangan otaknya.
Pemahaman mengenai perkembangan otak ini sangat penting karena dengan hal ini kita bisa membuat kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan, misalnya ketika anak berusia 0-2 tahun membutuhkan stimulasi sebanyak-banyaknya dari kedua orangtua, karena selain untuk membantunya tumbuh dan berkembang secara optimal dalam aspek fisik, namun juga secara emosi, sosial, dan semua aspek perkembangan lainnya.
Kita juga jadi mengetahui bahwa usia 3-5 tahun adalah saat yang tepat untuk menstimulasi kecerdasan moral dan sosial anak, dimana otak yang mengatur nilai dan moral sedang berkembang dititik yang paling pesat.
Begitu juga ketika remaja kita mulai melawan, dengan memahami bahwa memang ia sedang mengalami restrukturisasi sambungan sel sarafnya sekaligus terjadi badai hormon yang diatur oleh otak, kita jadi lebih waras untuk tidak terpancing emosi dan marah-marah.
Dari ilmu ini kita jadi tahu mengapa anak kita tidak perlu digegas bisa calistung pada usia kurang dari 7 tahun. Tapi, Imam Syafi’I kan bisa menghafal alquran di usia yang sangat belia. Yuk, kita berhenti membanding-bandingkan. Anak kita dan Imam Syafi’I tidak memiliki DNA yang sama.
Memang boleh mengambil contoh sebagai benchmark. Tapi, dalam aplikasinya dudukkan sesuai konteks. Imam Syafi’I dikaruniai Allah otak yang genius, konon ada yang menyebutkan bahwa ia termasuk manusia gifted seperti halnya Albert Einstein. Selain itu, ia memiliki orangtua yang super. Apakah kita sudah sesuper kedua orangtua Imam Syafi’i?
Dengan memahami cara kerja otak, kita juga jadi tahu cara berkomunikasi yang tepat dengan anak kita sesuai usianya. Apakah kita harus menghibur dan menasehati ketika emosi anak sedang bermasalah? Apa akibatnya pada masa depan anak jika kita terlalu sering mengancam dan melabel dengan kata-kata negatif
Seperti halnya mesin pada gadget kita, ‘mesin utama’ manusia juga ada do’s & don’ts-nya. Ada hal-hal yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh dilakukan.
Gadget kita saja jadi awet jika kita menghindari larangan yang ditentukan oleh pabrik pembuatnya. Anak kita, lebih dari gadget, jika kita merawatnya dengan baik, ia bisa tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang lebih baik dari kita, orangtua yang merawatnya.
Sumber :
No comments:
Post a Comment