Pernahkah Ayah Bunda melihat bendungan? Ada dua komponen utama dari suatu bendungan. Komponen pertama yaitu tembok yang membuat bendungan itu kokoh. Komponen kedua adalah air yang mengisi bendungan tersebut.
Apa jadinya jika bendungan dengan air berlimpah, namun temboknya hanya gundukan tanah saja? Apa jadinya jika bendungan tersebut kokoh dengan tembok beton namun tidak ada air yang mengisinya?
Itulah kemungkinan terjadi pada anak yang mendapat kasih sayang tidak lengkap. Jika anak mendapat kasih sayang hanya dari Bunda, namun tidak mendapatkannya dari ayah, ia seperti bendungan dengan air berlimpah, namun temboknya rapuh. Jika anak mendapat kasih sayang hanya dari ayah, namun tidak mendapatkannya dari Bunda, ia bagai bendungan kokoh yang kering tak berisi.
Tembok yang kokoh adalah batasan dan nilai-nilai yang ditetapkan sang Ayah sebagai pemimpin keluarga. Batasan dan nilai ini dibuat karena ayah sayang, agar sekeluarga selamat di dunia dan di akhirat.
Ayah lah yang akan memberi bentuk bendungan, kubus kah? Persegi panjang kah? Bola kah? Selain batasan dan nilai, kata-kata ayah lebih melekat kuat dalam memori anak sehingga dapat mengokohkan pondasi jiwa anak dan menciptakan anak tangguh dan punya prinsip.
Sedangkan air yang mengisi bendungan tersebut adalah cinta dan kasih Bunda sebagai penata rumah tangga dalam mendidik anak-anaknya, memastikan anaknya mengisi ruang jiwa mereka dengan nilai-nilai yang telah ditetapkan sang Ayah. Tentu saja nilai-nilai yang dianut sesuai dengan buku manual Sang Pencipta dan selaras dengan cara otak bekerja.
Kultur kita terlanjur melekat kuat bahwa urusan anak adalah urusan Bunda. Ayah dan Bunda memiliki porsi masing-masing dalam membangun bendungan jiwa anak. Perannya saling melengkapi.
Yang perlu ditekankan adalah BUKAN LENGKAP JUMLAH ATAU PERSONNYA yang paling penting, TAPI LENGKAP FUNGSI DAN PERANNYA.
Jika kita ada pada suatu kondisi tidak ideal, tetap lengkapi peran yang hilang dari kakek atau nenek, paman atau bibi, atau orang dewasa lainnya yang bisa jadi panutan. Yang penting, pihak yang terlibat dalam pengasuhan anak harus kompak dan konsisten terhadap batasan dan nilai yang dibuat oleh pemimpin keluarga.
Jika peran pengganti juga sulit didapatkan, sebagai orangtua tunggal kita perlu berperan ganda, menjadi ayah sekaligus menjadi Bunda. Hujamkan lebih kuat hati anak kita kepada taqwa, karena hanya dengan ketaqwaan lah setengah tugas pengasuhan kita terbayarkan dengan tenang. Allah lah yang menjadi pembentuk sekaligus pengisi jiwanya.
Ayah Bunda, sesuaikan porsi dan peran kita. Dukung pasangan kita berperan sesuai porsi dan perannya. Kadang, yang membuat Ayah segan dalam mengambil peran pengasuhan adalah sikap Bunda sendiri. Ketika Ayah mengasuh dengan cara yang berbeda, Bunda mempermasalahkan seakan hanya ada satu cara asuh yang benar atau paling benar. Akibatnya, Ayah mencukupkan diri menjadi mesin ATM keluarga.
Sebagai istri, kita dudukkan suami di kursi kerajaannya. Ibu Elly Risman mengatakan, “Jangan suka merasa tinggi sebenang”. Memang lebih tinggi, tapi cuma sebenang saja bedanya. Sebagai suami, kita ambil tanggungjawab pendidikan keluarga yang memang ada di tangan kita. Ingatlah ancaman Allah yang akan memenuhi neraka dengan batu yang panas dan manusia yang abai mendidik keturunannya.
Setelah ini, akan semakin banyak bermunculan ayah-ayah yang menemani anak-anak bermain di taman kota, membacakan cerita sebelum anak-anak tidur, memimpin obrolan di meja makan. Semakin banyak bermunculan juga Bunda-Bunda yang berbicara lembut, tenang, penuh senyum dan murah pelukan pada anak-anak. Semakin banyak keluarga yang penuh cinta dan membagi cinta mereka di keluarga kepada lingkungannya.
Selamat membentuk dan mengisi bendungan jiwa anak kita... 😊
Sumber :
No comments:
Post a Comment