Dalam suatu penyuluhan prapernikahan, seorang penghulu bertanya pada para calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan pada pekan itu, “Menikah itu apa? Mengapa kalian menikah?”.
Entah karena malu atau alasan lainnya, hanya 2 pasang calon mempelai yang menjawab dengan tenang dan benar.
Sebelum seseorang memutuskan menikah, pertanyaan paling mendasar yang perlu ia jawab ke dasar hati adalah “Menikah itu apa? Mengapa menikah?”.
Jika seseorang memiliki jawaban yang mantap baik sebelum menikah maupun dalam perjalanan pernikahan, hal yang paling tidak diinginkan (perceraian) ketika keluarga mengalami masa-masa sulit sangat mungkin bisa dihindari.
Pada kenyataannya, BIMAS dan Badilag RI pada 2014 melansir data angka perceraian yang terus meningkat lebih dari 30.000 kasus pertahun, dan 80%-nya terjadi pada pasangan muda yang baru 2-5 tahun berumah tangga.
Penyebabnya berturut-turut karena tidak ada keharmonisan (31%), tidak bertanggungjawab (27%), masalah ekonomi (24%), dan gangguan pihak ketiga (8%). Selain itu, KomNas Perempuan menginformasikan bahwa pada tahun 2013 kasus KDRT mencapai 11.719 kasus, naik 3.404 kasus dari tahun 2012.
Dilihat dari usia pernikahan, penyebab perceraian yang terjadi, dan tingginya kasus KDRT, mengindikasikan bahwa tidak semua pasangan yang akan menikah sudah siap menjadi suami dan istri. Ketidakharmonisan, tidak bertanggungjawab, dan gangguan pihak ketiga adalah penanda yang jelas peran istri atau suami tak cukup kuat dalam rumah tangga mereka.
Dari kenyataan yang kita hadapi ini, ternyata kita perlu menyiapkan anak kita agar betul-betul siap menikah jika waktunya tiba, betul-betul tahu apa konsekuensi menikah, betul-betul kuat alasan mereka untuk menikah, dan betul-betul paham perannya ketika sudah menikah.
Karena menikah bukan hanya tentang menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan, lebih besar dari itu, menikah adalah tentang ibadah yang menggenapkan agama. Menikah adalah tentang meneruskan kemanusiaan dan membangun peradaban yang lebih baik untuk masa depan.
Mari kita berkaca, apakah kita mempersiapkan diri memasuki dunia pernikahan? Atau hanya karena sudah umur? Sudah bosan ditanya “kapan nikah?”? Sudah bosan dinasehati?
Lebih mendalam lagi, apakah persiapan itu karena kesadaran kita sendiri, atau kita memang dipersiapkan orangtua kita untuk menikah, menjadi suami-istri, dan menjadi ayah-ibu oleh orangtua kita sejak dini?
Sejauh pengamatan kami, generasi Y yang kini menjadi ayah muda dan ibu muda dididik fokus pada akademik semata. Sehingga, ada yang ikut kursus dan seminar pranikah sana sini untuk mempersiapkan diri, karena di bangku sekolah memang tidak diajarkan bukan? Namun, itu terjadi bagi yang punya kesadaran. Bagaimana jika tidak?
Bagi yang mempersiapkan diri, cukupkah perbekalan itu dalam mengarungi pernikahan? Berdasarkan wawancara kami kepada ibu-ibu muda yang terus belajar seiring perkembangan buah hatinya, mereka jawab tidak. Itulah alasan mereka terus meningkatkan kapasitas diri sebagai ibu. Sayangnya, ayah muda belum menunjukkan minat yang sama seperti istri-istri mereka.
Ayah Bunda, setujukah jika kami mengatakan “Untuk menjadi suami dan istri yang baik, anak-anak perlu dilatih sejak dini”?
Keluarga adalah tanggungjawab yang pertama-tama dihisab setelah tanggungjawab pribadi kita, barulah tanggungjawab sosial kita pada masyarakat. Anak-anak kita pun mempertanggungjawabkan keluarganya dulu baru peran sosialnya.
Jangan sampai anak kita menjawab di hari perhitungan, “saya berbuat salah pada keluarga saya, karena saya tidak diajarkan caranya memperlakukan mereka”.
Sumber :
No comments:
Post a Comment