Sebelumnya kita telah membahas bahwa hal-hal yang perlu diteladankan untuk mendidik anak kita agar kelak menjadi suami dan istri yang baik adalah dengan menguatkan konsep dirinya (termasuk identifikasi seksual (gender), mengenal dan merespon perasaannya, mengenal kebutuhan diri) dan komunikasi asertif yang terbuka dan dua arah. Selain itu, anak kita juga berhak mendapatkan ilmu tentang komitmen dan tanggungjawab.
Komitmen dan tanggungjawab adalah salahsatu pilar utama bangunan pernikahan. Memang Allah telah berjanji akan mengaruniakan kasih sayang pada pasangan yang bertakwa, bentuk takwa tersebut salahsatunya adalah komitmen kepada pasangannya. Seseorang yang berkomitmen akan memegang teguh janji suci yang ia pernah ucapkan.
Laki-laki yang berkomitmen akan teguh memegang tanggungjawab atas keluarganya, perempuan yang berkomitmen akan setia membantu suaminya menjalankan tanggungjawab yang diembannya.
Mulai dari mana mendidik anak tentang komitmen ?
Mulai dari mengajarkan padanya bahwa selain ada hak, ada juga kewajiban. Misal, anak kita punya hak untuk bermain. Namun, ia juga punya kewajiban untuk merapikan mainannya kembali setelah dipakai. Anak kita punya hak untuk bersepeda, namun ia juga punya kewajiban mencuci sepeda di akhir pekan agar sepeda tersebut terawat dan awet.
Komitmen juga tentang mengambil resiko atas pilihannya sendiri sampai tuntas. Boleh dimulai dengan memberi kesempatan pada anak untuk BMM (Berfikir, Memilih, dan Mengambil keputusan) bagi dirinya sendiri
Untuk anak balita, misalnya dengan membolehkan ia yang memutuskan jenis menu dan jumlah porsi makanannya sendiri, dengan kesepakatan di awal bahwa ia punya konsekuensi menghabiskan makanan tersebut. Jika anak kita tidak menghabiskan dalam 30 menit, jangan dibantu habiskan. Beri jeda hingga waktu makan berikutnya untuk menghabiskan. Kita hanya ingatkan bahwa makanan tersebut harus tetap habis. Latihan mengenai komitmen ini meningkat seiring bertambahnya usia anak kita.
Ajarkan anak untuk menyelesaikan sendiri masalahnya tanpa dibantu orangtua. Ketika anak batita kita kesulitan mengancingkan baju atau menalikan tali sepatu, tahan diri untuk berkata “Sini Bunda bantu”, “sini sama Ayah”. Duduk disampingnya dan beri tips untuk melakukan dengan lebih baik. “Liat Ayah, Ayah kasih contoh ya biar lebih mudah”.
Gaya “sini Bunda bantu” mematahkan kesempatannya untuk belajar dan merasa dirinya mampu. Kelak ia akan terus mengandalkan oranglain untuk menolongnya atau bahkan merasa dirinya tidak bisa apa-apa.
Untuk anak yang lebih besar, minta pendapatnya ketika akan mendaftar sekolah, misalnya. Orangtua cukup memberi alternatif sekolah yang akan dimasuki dan terus berdiskusi dengan anak, sedangkan pengambilan keputusan melalui musyawarah dengan melibatkan pendapat anak.
Dengan ini anak kita punya kesempatan untuk berfikir, memilih, dan mengambil keputusan (BMM). Sehingga, jika kelak ada kejadian tidak menyenangkan di sekolah, anak kita belajar arti menyelesaikan masalah sendiri (tanpa dibantu orangtua) atas dasar komitmen terhadap keputusan. Kita siap sedia saja menjadi konselor yang bijaksana, bukan mengambil alih penyelesaian masalah.
Untuk anak balita, misalnya dengan membolehkan ia yang memutuskan jenis menu dan jumlah porsi makanannya sendiri, dengan kesepakatan di awal bahwa ia punya konsekuensi menghabiskan makanan tersebut. Jika anak kita tidak menghabiskan dalam 30 menit, jangan dibantu habiskan. Beri jeda hingga waktu makan berikutnya untuk menghabiskan. Kita hanya ingatkan bahwa makanan tersebut harus tetap habis. Latihan mengenai komitmen ini meningkat seiring bertambahnya usia anak kita.
Ajarkan anak untuk menyelesaikan sendiri masalahnya tanpa dibantu orangtua. Ketika anak batita kita kesulitan mengancingkan baju atau menalikan tali sepatu, tahan diri untuk berkata “Sini Bunda bantu”, “sini sama Ayah”. Duduk disampingnya dan beri tips untuk melakukan dengan lebih baik. “Liat Ayah, Ayah kasih contoh ya biar lebih mudah”.
Gaya “sini Bunda bantu” mematahkan kesempatannya untuk belajar dan merasa dirinya mampu. Kelak ia akan terus mengandalkan oranglain untuk menolongnya atau bahkan merasa dirinya tidak bisa apa-apa.
Untuk anak yang lebih besar, minta pendapatnya ketika akan mendaftar sekolah, misalnya. Orangtua cukup memberi alternatif sekolah yang akan dimasuki dan terus berdiskusi dengan anak, sedangkan pengambilan keputusan melalui musyawarah dengan melibatkan pendapat anak.
Dengan ini anak kita punya kesempatan untuk berfikir, memilih, dan mengambil keputusan (BMM). Sehingga, jika kelak ada kejadian tidak menyenangkan di sekolah, anak kita belajar arti menyelesaikan masalah sendiri (tanpa dibantu orangtua) atas dasar komitmen terhadap keputusan. Kita siap sedia saja menjadi konselor yang bijaksana, bukan mengambil alih penyelesaian masalah.
Sumber :
No comments:
Post a Comment