Semakin tingginya angka perceraian seperti yang dilansir di artikel sebelumnya, telah menyadarkan kita bahwa kita bertanggungjawab menyiapkan anak-anak kita untuk menjadi suami istri yang baik bagi pasangannya.
Mereka perlu memahami apa konsekuensi menikah dan apa saja perannya ketika sudah menikah.
“Ah nanti saja, kalau sudah waktunya tiba, masih kecil begini bagaimana mempersiapkannya?”, pikir kita.
Ternyata, mempersiapkan anak kita untuk menjadi suami dan istri dimulai sejak kecil. Sejak kapan? Sejak ia memiliki kemampuan belajar. Bahkan dengan bermain boneka pun, kita bisa mengajarkan caranya memandikan dan mengganti baju bayi.
Anak kita belajar apa saja dan dari siapa saja. Dimulai dari melihat sekelilingnya, kemudian meniru. Apa yang dilihat itu, jika ia ‘pelajari’ berulang-ulang akan terrekam dalam memori jangka panjangnya. Kemudian memori itu akan menjadi “panduan” bagaimana ia bersikap.
Jadi, tepat sekali bahwa mendidik anak menjadi suami istri yang baik bermula dari keteladanan. Ayah adalah mahaguru untuk mata kuliah “suami yang baik”, dan Bunda adalah profesor untuk mata kuliah “istri yang baik”.
Ada yang menyangka persiapan pranikah (selain melalui keteladanan) dilaksanakan melalui kuliah, seminar, pelatihan, dan membaca buku. Benarkah demikian?
Nyatanya, banyak orang yang sudah melahap berbagai ilmu, namun ketika praktek sulit sekali. Bahkan ada yang mengatakan teori sebatas teori, jika tidak bisa dipraktekkan.
Yang jarang diketahui, sulitnya praktek tidak selalu tersebab teorinya tidak applicable (tidak cocok). Seringkali teori sulit dipraktekkan karena “ada yang belum selesai” atau bisa disebut “innerchild bermasalah” yang mengganggu proses berpikir dan bersikap seseorang.
Teori itu ibarat bahan makanan yang siap dimasak dan dihidangkan. Pada dasarnya bahan makanan apa saja bisa disantap dengan nikmat asal yang memasak pandai mengolahnya dan alat memasaknya siap digunakan.
Bagaimana jika yang memasak salah meramu bumbu? Atau memasak dengan wajan kotor?
Kelihaian mengolah bahan makanan adalah kemampuan memaknai teori, meletakkan konteks dengan benar, dan memanfaatkan fitrah Allah dalam meracik makna demi makna. Sedangkan membersihkan wajan kotor adalah pekerjaan membersihkan jiwa dari dosa dan innerchild yang terluka.
Jadi, dari sedikit analogi di atas, mari kita rinci apa saja yang perlu dipersiapkan dari anak untuk menjadi suami dan istri?
1. Perkuat konsep diri anak
Konsep diri ini laksana wajan. Saat anak terlahir ke dunia, konsep dirinya mengkilat seperti wajan baru. Namun, salah pengasuhan (oleh orangtua, sekolah, dan lingkungan) bisa membuat wajan tersebut kotor.
Untuk menjaga wajan itu tetap bersih, bantu anak mengenali indentitas seksual (gender)-nya. Mulai dari memberikan nama yang jelas membedakan laki-laki dan perempuan, membelikan pakaian yang sesuai gendernya, memperlakukan laki-laki dan perempuan berbeda, seperti berbicara lebih lembut pada anak perempuan agar naluri keperempuanannya tumbuh dan berbicara lebih tegas pada anak laki-laki agar naluri kelaki-lakiannya juga tumbuh. Ingat, tegas bukan kasar.
Kemudian, didik seksualitas yang benar, sehat dan lurus sesuai usia agar ia tumbuh dari gadis dan bujang menjadi wanita dan lelaki.
Bantu anak mengenali, mengidentifikasi, dan merespon perasaannya agar ia belajar berperilaku sesuai kondisi.
Bantu juga anak mengenal kebutuhan diri dengan banyak berdialog menggunakan kalimat tanya. Contoh, pada saat orangtua merasa anaknya harus makan, gunakan kalimat bertanya, “sudah lapar, Nak?”, bukan dengan kalimat perintah, “Makan ya, Nak. Nanti kamu sakit”.
Dengan kalimat bertanya, anak akan mengidentifikasi dirinya sehingga anak terbiasa untuk berpikir membedakan keinginan dan kebutuhannya.
2. Komunikasi
Berdasarkan pengamatan kami sebagai lembaga parenting selama 19 tahun, cara berkomunikasi mengambil andil yang sangat besar dalam membentuk konsep diri seseorang.
Kesalahan berkomunikasi selama bertahun-tahun, membuat anak dendam pada orangtuanya, merasa dirinya tidak berharga, memilih menjadi LGBT, bahkan membunuh orang yang dibenci. Sedangkan komunikasi yang menumbuhkan bahkan bisa membuat seseorang yang pernah di ambang bunuh diri, mampu bangkit dan merangkai karya sepanjang hidupnya.
Jadi, biasakan menggunakan cara komunikasi yang empatik, hindari bicara dengan 12 gaya popular (akan dibahas kemudian), dan ajarkan anak kita tentang komunikasi asertif yang terbuka dan dua arah, dimulai dari bagaimana kita berkomunikasi dengannya dan dengan pasangan kita.
Biasakan untuk menyelesaikan masalah dengan diskusi menggunakan kalimat yang baik dan intonasi yang tepat. Tunjukkan pada anak bahwa ayah dan bunda bekerjasama menyelesaikan masalah bersama. Anak boleh dilibatkan dalam diskusi saat orangtua menyelesaikan masalah.
Berdasarkan pengamatan kami sebagai lembaga parenting selama 19 tahun, cara berkomunikasi mengambil andil yang sangat besar dalam membentuk konsep diri seseorang.
Kesalahan berkomunikasi selama bertahun-tahun, membuat anak dendam pada orangtuanya, merasa dirinya tidak berharga, memilih menjadi LGBT, bahkan membunuh orang yang dibenci. Sedangkan komunikasi yang menumbuhkan bahkan bisa membuat seseorang yang pernah di ambang bunuh diri, mampu bangkit dan merangkai karya sepanjang hidupnya.
Jadi, biasakan menggunakan cara komunikasi yang empatik, hindari bicara dengan 12 gaya popular (akan dibahas kemudian), dan ajarkan anak kita tentang komunikasi asertif yang terbuka dan dua arah, dimulai dari bagaimana kita berkomunikasi dengannya dan dengan pasangan kita.
Biasakan untuk menyelesaikan masalah dengan diskusi menggunakan kalimat yang baik dan intonasi yang tepat. Tunjukkan pada anak bahwa ayah dan bunda bekerjasama menyelesaikan masalah bersama. Anak boleh dilibatkan dalam diskusi saat orangtua menyelesaikan masalah.
3. Komitmen
Ajarkan anak mengenai komitmen terhadap kewajiban dan pilihannya sendiri. Bantu anak memahami bahwa selain ada hak juga ada kewajiban. Misal, dengan membiasakan setelah menggunakan barang atau mainan, perlu dirapikan lagi ditempatnya. Hal ini bisa dibiasakan sejak anak berumur 2 tahun.
Anak mungkin akan lebih sulit untuk berkomitmen jika ia terlalu sering dipilihkan atau dibuatkan keputusan, ia hanya tinggal melaksanakan.
Namun, orangtua juga perlu rasional. Melatih anak mampu memilih dan berkomitmen terhadap pilihan harus sesuai konteks dengan usia. Jika anak ngotot ingin sekolah padahal usianya belum mencukupi, orangtua perlu bijak menjelaskan berbagai konsekuensi.
Keputusan akhir tetap di tangan orangtua, karena otak yang lebih bersambungan, otaknya siapa? Otak anak atau otak orangtua?
Biasakan anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa dibantu orangtua, bisa dimulai dari membolehkan anak memilih menu dan jumlah makanannya dan menghabiskan. Memberi mereka tanggungjawab mengerjakan rumah tangga sesuai usia juga merupakan salahsatu cara untuk melatih komitmennya.
Ajarkan anak mengenai komitmen terhadap kewajiban dan pilihannya sendiri. Bantu anak memahami bahwa selain ada hak juga ada kewajiban. Misal, dengan membiasakan setelah menggunakan barang atau mainan, perlu dirapikan lagi ditempatnya. Hal ini bisa dibiasakan sejak anak berumur 2 tahun.
Anak mungkin akan lebih sulit untuk berkomitmen jika ia terlalu sering dipilihkan atau dibuatkan keputusan, ia hanya tinggal melaksanakan.
Namun, orangtua juga perlu rasional. Melatih anak mampu memilih dan berkomitmen terhadap pilihan harus sesuai konteks dengan usia. Jika anak ngotot ingin sekolah padahal usianya belum mencukupi, orangtua perlu bijak menjelaskan berbagai konsekuensi.
Keputusan akhir tetap di tangan orangtua, karena otak yang lebih bersambungan, otaknya siapa? Otak anak atau otak orangtua?
Biasakan anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa dibantu orangtua, bisa dimulai dari membolehkan anak memilih menu dan jumlah makanannya dan menghabiskan. Memberi mereka tanggungjawab mengerjakan rumah tangga sesuai usia juga merupakan salahsatu cara untuk melatih komitmennya.
4. Kerjasama
Ajarkan anak kita untuk saling membantu, kakak membantu adik mengerjakan PR, adik membantu tugas harian kakak menyiram bunga, ayah membantu bunda mencuci baju, bunda membantu ayah mencuci mobil.
Ajarkan anak kita untuk saling membantu, kakak membantu adik mengerjakan PR, adik membantu tugas harian kakak menyiram bunga, ayah membantu bunda mencuci baju, bunda membantu ayah mencuci mobil.
Dengan membiasakan anak bekerjasama, anak tidak segan membantu pasangannya saat pasangannya sedang berhalangan mengerjakan tugasnya.
Bentuk keluarga yang kompak dan solid. Buat project bersama yang dipimpin oleh anak, seluruh anggota keluarga bekerjasama menyukseskan project bersama tersebut.
Poin-poin di atas barulah secuil persiapan yang perlu kita ajarkan. Selalu peka terhadap perkembangan anak, manfaatkan kesempatan emas untuk menjelaskan dan mempersiapkan mereka. Pendidikan niscayanya sealamiah mungkin. Pengamatan atas perkembangan anak adalah kunci kapan harus mengajarkan apa.
Sumber :
No comments:
Post a Comment