Anak : Bu, makhluk pertama yang tinggal di bumi apa sih?
Ibu : Mikroba, Nak
Anak : Kok bukan manusia bu?
Ibu : Karena pada saat itu kondisi bumi sangat ekstrim, manusia tidak akan tahan tinggal di bumi saat itu. Itu bentuk kebaikan dan kasih sayang Allah, Nak
Anak : Bu, tadi dikelas, guru aku bilang, manusia itu bagian dari ekosistem. Berarti sama dengan gajah, beruang, pohon, semut, nyamuk, mikroba dong?
Setiap makhluk hidup diciptakan dengan misi. Mikroba sebagai pengurai, tanaman sebagai penghasil udara bersih, ikan sebagai mangsa hewan lain, singa sebagai pemangsa, dan lain sebagainya. Namun ada kesamaan misi dari seluruh makhluk ciptaan Allah, yaitu beribadah kepadaNya. Termasuk manusia. Manusia juga diciptakan untuk beribadah kepadaNya.
Bentuk ibadah setiap makhluk hidup berbeda-beda sesuai perannya dalam ekosistem. Manusia ternyata lebih berat daripada makhluk lainnya. Manusia diberi misi khusus menjadi wakilNya mengatur alam semesta sesuai dengan peraturanNya. Manusia bertugas memakmurkan bumi dan segala isinya.
Oleh karena itu, manusia diberi ‘bonus’ perangkat penciptaan dengan kecanggihan dan kemuliaan tertinggi, yaitu Prefrontal Cortex (PFC) di otaknya, dimana hanya manusia yang memiliki PFC paling sempurna agar mampu menanggung amanah tersebut. Dan anak kita termasuk didalamnya.
Telah banyak kita mendapatkan bukti kegagalan manusia dalam menjalankan misi khusus ini. Alih-alih melindungi makhluk lain dari nafsu, ia justru menjadi pelaku. Koruptor, pencuri, pembalak hutan, pembunuh binatang langka, pemerkosa, dsb. Seakan-akan perilaku mereka tidak diketahui oleh Sang Pencipta. Seakan-akan mereka akan hidup selamanya dan kelak tidak akan diminta pertanggungjawaban dihadapanNya.
Mendidik anak menjadi hamba yang bertakwa adalah tanggungjawab utama orangtua sebelum tanggungjawab yang lainnya. Maka orangtua wajib mengenalkan siapa Allahnya, apa saja sifat-sifat Allahnya, apa perintah dan larangan Allah, siapa yang dapat dijadikan panutan oleh anak untuk mengenal Allahnya, dan darimana anak akan mendapatkan petunjuk agar selalu sesuai dengan aturan Allahnya.
Bagaimana caranya?
Pertama-tama adalah keteladanan. Tidak mungkin kita bisa mengenalkan Allah swt beserta sifat-sifatNya tanpa keteladanan, kecuali atas kehendakNya. Apa yang kita teladankan pada anak kita? Akhlak kita. Sebisa mungkin kita pun meneladani sifat-sifat Allah. Allah Maha Penyayang, jadilah orangtua yang penyayang. Allah Maha Penyabar, jadilah orangtua yang sabar. Sebisa mungkin.
Kedua, mendidik agama sesuai dengan ajaran Al Quran-Sunnah dan kaidah otak bekerja (karena keduanya tidak saling bertentangan, bahkan saling melengkapi). Kami menyebutnya Islamic Brain Based Parenting atau Spiritual Brain Based Parenting.
Dalam tahapan perkembangan, baik dalam kaidah otak bekerja maupun dalam islam, dibedakan cara mendidik anak usia 0-7 tahun. Anak usia ini ditanamkan tauhid dulu sebelum ibadah. Kenalkan Allah dan rasulNya dengan cara 3B, yaitu Bermain, Bernyanyi, dan Bercerita.
Bermain menggunakan objek-objek nyata lalu dikaitkan dengan sifat-sifat Allah, Bernyanyi untuk menjelaskan asmaul husna dan rasulNya, dan menceritakan kisah-kisah islami yang kaya hikmah dan sangat imajinatif. Bisa juga dengan berdiskusi mengenai isi Al Quran.
Kisahkan tentang keindahan surga, kebaikan Allah, kehebatan rasulNya lebih banyak daripada ngerinya neraka atau marahnya Allah. Jangan mengancam anak dengan “nanti Allah marah”. Kita tidak pernah tahu kisah seram itu menimbulkan trauma serta memori “Allah Pemarah” lebih membekas daripada sifat-sifatNya yang indah.
Setelah memasuki usia 7 tahun, barulah latih anak kita melakukan ritual ibadah yang diatur tata caranya (shalat, puasa, zakat, sedekah, haji, dll). Jangan berharap semalam bisa, masa latihan ini berlangsung hingga 10 tahun kok. 😁
Di usia ini barulah kita bisa berimbang menjelaskan surga-neraka, dan lain sebagainya. Karena otak anak sudah mulai bisa mengaitkan sebab-akibat dengan lebih nyata : “jika tidak shalat setelah usia 10 tahun, Allah marah dan aku boleh dipukul karena ketidakpatuhanku”.
Yang paling dasar adalah mengajarkan bahwa Allah Maha Segalanya dan dirinya adalah hamba, sehingga anak betul-betul memahami bahwa apa yang dilakukannya selama hidup adalah ibadah. Diharapkan anak memahami bahwa manusia yang memiliki kualitas penghambaan yang baik, akan menjadi manusia yang berkualitas bagi kehidupan alam raya, sesuai dengan misinya sebagai manusia diantara makhluk lainnya.
Ketika kelak dewasa dan ia dihadapkan pada pilihan-pilihan, mudah-mudahan yang menjadi landasan pertamanya mengambil keputusan adalah “Apakah ini ibadah? Apakah Allah menyukaiku jika aku melakukan hal ini? Mana yang lebih bernilai ibadah?”.
Dengan demikian, terciptalah anak-anak tangguh yang meskipun orangtuanya telah tiada, tantangan zaman hanya akan menjadi peluang lebih atas ibadah-ibadahnya.
Satu hal lagi kebaikan Allah bagi kita, doa anak yang diridhaiNya adalah pintu rizki yang tiada terputus meski nyawa tak lagi bersatu dengan raga. Mau?
Sumber :
No comments:
Post a Comment